Indonesia
merupakan Negeri yang sangat subur, siapa pun tahu itu. Pernah dengar lagu yang
syairnya seperti ini?
“Orang
bilang tanah kita tanah surga,
“Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman……”
Syair
tersebut bukan hanya sebatas karangan atau celotehan ringan belaka. Ya! Tanah Indonesia dari Sabang hingga Merauke tersimpan
keindahan alam, budaya dan kearifan lokal yang memiliki ciri khas tersendiri salah satunya RAJA AMPAT (RA). Raja Ampat merupakan bagian dari the great treasure yang dimiliki
Indonesia bahkan Raja Ampat terkenal sebagai destinasi wisata terindah di jagat
wisata dunia hingga mendapat
predikat The Hidden Paradise (Surga
tersembunyi) atau Paradise on Earth
(Surga Dunia).
Terletak
di Indonesia bagian Timur, sebelah
Barat pulau Papua. Secara geografis Kepulauan Raja
Ampat berada pada 01o15’ LU – 2o15’ LS dan 129o10’
– 121o10’ BT dengan luas wilayahnya 46.000 km2 terdiri dari wilayah
lautnya 40.000 km2 dan luas daratannya 6.000 km2. Pada akhir tahun
2003, Raja Ampat dideklarasikan sebagai kabupaten baru, berdasarkan UU No. 26
tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan,
dan Kabupaten Raja Ampat, tanggal 3 Mei tahun 2002. Kabupaten Raja Ampat terdiri dari
kurang lebih 610 pulau yang memiliki panjang total tepi pantai 753 km dengan 34 pulau
yang berpenghuni (COREMAP,
2005).
dok. Awwal dalam buku Beautiful Raja Ampat |
Gugusan kepulauan yang berada di kawasan Vogelkop (Kepala Burung) pulau Papua ini merupakan bagian dari jantung atau pusat segitiga terumbu karang (Heart of coral Triangle). Mengapa area ini dinamai heart of coral triangle? ini dikarenakan area ini memiliki keanaekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia (Donnelly et al., 2003; Mc Kenna et al., 2002 dikutip dari Pitcher, Tonny J. et al., 2007). Terdapat sedikitnya 1.320 jenis ikan yang mendiami 553 jenis terumbu karang, atau sekitar 75% dari semua jenis terumbu karang yang ada di dunia (Halim and Mous, 2006). Belum lagi ditambah 41 jenis terumbu karang lunak (soft coral) yang membuat ekosistem laut RA semakin beragam. Laut Raja Ampat juga dihuni oleh penyu, ubur-ubur, siput laut, kuda laut mini, lobster, teripang dan biota laut lainnya. Hutan mangrove dan rumput lautnya pun beragam. Short et al., (2007) mencatat ada 12 hingga 15 jenis mangrove di daerah ini. Banyak bukan? Coba bayangkan, betapa cantiknya jika saya atau kalian bisa menyelami kedalaman laut Raja Ampat, memandangi karst yang indah dan berdiri kokoh atau mengeksplorasi hutan mangrove dan pantainya. Tapi sebelum berkhayal menuju kesana mari kita ketahui sedikit cerita mengenai peradaban Raja Ampat..
Setiap wilayah
pasti memiliki legenda rakyat tersendiri mengenai asal-usul wilayahnya atau
kebudayaannya, begitu juga Raja Ampat. Konon di Teluk
Kabui Kampung Wawiyai ada sepasang suami istri pergi ke hutan (sebagai perambah
hutan) untuk mencari makanan, ketika mereka tiba di tepi Sungai Waikeo (Wai
artinya air, kew artinya teluk) mereka menemukan tujuh butir telur naga.
Ketujuh telur tersebut
disimpan dalam noken dan dibawa pulang, sesampainya di rumah
telur-telur tersebut disimpan dalam kamar. Ketika malam
hari mereka mendengar suara bisik-bisik, betapa kagetnya mereka ketika mereka
melihat di dalam kamar ternyata ke-lima butir telur telah menetas berwujud
empat anak laki-laki dan satu anak perempuan, semuanya berpakaian halus seperti
menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan raja. Diketahui bahwa masing-masing
anak bernama :
- War menjadi Raja di Waigeo.
- Betani menjadi Raja di Salawati.
- Dohar menjadi Raja di Lilinta (Misool)
- Mohamad menjadi Raja di Waigama (Batanta)
Sedangkan anak yang perempuan
(bernama Pintolee), pada suatu ketika anak perempuan tersebut diketahui
sedang hamil dan oleh kakak-kakaknya Pintolee diletakkan dalam kulit
bia (kerang) besar kemudian dihanyutkan hingga terdampar di Pulau Numfor.
Satu telur lagi tidak menetas dan menjadi batu yang diberi nama Kapatnai dan diperlakukan sebagai raja, setiap
tahunnya batu ini dimandikan
dan air mandinya disiramkan kepada masyarakat sebagai babtisan untuk Suku
Kawe (Korneles
Mambrasar, dikutip dari Raja Ampat|Last Paradise). Legenda lain
menyebutkan bahwa ada sepasang suami istri yang tinggal di Waigeo
yang suaminya Gurabesi. Gurabesi
sendiri adalah raja atau Kolano yang merupakan utusan Sultan untuk berkuasa di
suatu pulau sebagai hadiah atas keberhasilannya menumpas musuh Tidore. Sang
Kolano kelak memiliki empat orang anak lelaki yang kemudian memimpin dan
menjadi raja di pulau-pulau Papua, oleh karena itu disebut sebagai kepulauan
Raja Ampat. Menarik
bukan?
Sebenarnya jika ditinjau dari sisi sejarah, Kepulauan Raja Ampat di
abad ke 15 merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan
besar yang berpusat di Kepulauan Maluku. Pada tahun 1453 Sultan Tidore yang ke 10,
Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kapitan
Gurabesi memimpin sebuah ekspedisi besar yang melewati wilayah patani Gebe dan
Waigeo. Dari ekspedisi ini, tiga wilayah yang meliputi wilayah Raja Ampat atau
Korano Ngaruha, Wilayah Papua Gamsio dan wilayah Mafor Soa Raha berhasil ditaklukkan.
Wilayah Raja Ampat yang ditaklukkan meliputi Kolano Waigeo, Kolano Umwasol (Misool),
dan Kolano Waigama. Sebelum Malaka jatuh ke
tangan Portugis, Kesultanan di kawasan Maluku sedang dalam puncak kejayaannya. Di
antara kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, Tidore adalah yang paling menonjol.
Tak hanya soal faktor geografisnya saja, Tidore di bawah
kepemimpinan Sultan Khairun dan Sultan Baabullah menjalin kerjasama perdagangan dengan
kawasan Raja Ampat, sehingga menjadikan kedua lokasi ini memiliki kekerabatan yang
kuat.
Awalnya, Wagama dan Misool merupakan bagian dari Kesultanan
Bacan, akan tetapi pada abad ke XVII Tidore berhasil mengalahkan
Bacan dan memegang peranan yang cukup kuat di kawasan bagian barat Papua ini. Begitu pula
dengan cerita rakyat yang berkembang, dimana diceritakan bahwa pada abad XV
Biak telah menjadi wilayah Kesultanan Tidore, dengan mengangkat pejabat daerah
yang bersangkutan dengan sebutan gelar seperti Kapitan, Sangaji, Korano,
Dimara, Mayor dan sebagainya. Gelar yang
hingga kini masih bisa ditemui sebagai nama marga keluarga-keluarga di Kepulauan
Raja Ampat. Untuk menjalankan pemerintahannya, Kesultanan Tidore ini menunjuk 4 orang
Raja lokal untuk berkuasa di pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool yang
merupakan 4 pulau terbesar dalam jajaran kepulauan Raja Ampat sampai sekarang
ini. Begitulah awal mula penamaan Raja Ampat diberikan.....
Sejak awal abad
ke-19, para penjelajah dan peneliti Eropa mengarahkan perhatian pada kepulauan yang terletak di perairan kawasan timur Indonesia. Perancis merupakan negara Eropa pertama yang singgah
di kepulauan tersebut. Antara tahun 1819 sampai 1820, L’Uranie,
sebuah kapal Perancis, tercatat melintas dan melakukan penelitian
di kawasan bagian barat Papua Nugini dan Raja Ampat
(Lourdes et al., 2006). Di dalam kapal yang dipimpin Kapten Freycinet itu terdapat dua peneliti
satwa yang bernama Quoy dan Gaimard. Saat kembali ke negaranya pada 1824, mereka membawa 30
spesies ikan laut yang belum diketahui sebelumnya dan berbagai ilustrasi flora
dan fauna yang ditemui yang kemudian penemuan tersebut dipublikasikan kepada
dunia. Salah satu publikasinya adalah bahwa Raja Ampat sedari dulu merupakan
kawasan yang memiliki kekanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi. Hubungan
dagang yang baik dengan berbagai pihak bahkan bangsa Cina (Lourdes et al., 2006).
Setelah
L’Uranie, datang kapal Prancis lainnya bernama Corvette La
Coquille yang dinakhodai Kapten Duppery. Kapal yang datang
pada 1823 itu melanjutkan penelitian yang dilakukan pendahulunya. Lalu dilanjutkan
dengan ekspedisi L’Astrolabe pada tahun 1818-1826. Mata dunia terhadap
Kepulauan Raja Ampat pun semakin terbuka ketika peneliti asal Inggris, Alfred
Russel Wallace datang ke Pulau Waigeo pada 1860. Hasil
penelitian Wallace itu kemudian ditulis dalam bukunya yang terkenal, The
Malay Archipelago yang telah menginspirasikan Charles Darwin dalam
membuat Teori Evolusi. (Lourdes et al., 2006)
Keindahan keanekaragaman hayati di Kepulauan Raja Ampat
mulai dikenal dunia semenjak beberapa abad silam. Hal ini menyebabkan banyak
orang mencarinya karena tujuan tertentu. Karena
Sumber Daya Alam-nya yang melimpah ini terutama perikanan, banyak kelompok yang
tertarik untuk berinvestasi bahkan mengeksploitasi Raja Ampat. Dalam beberapa
kurun waktu Raja Ampat banyak dikunjungi perahu-perahu nelayan dari berbagai
perusahaan perikanan. Walaupun ini legal tetapi penangkapan ikan dalam jumlah yang
banyak ini juga menarik perahu-perahu nelayan lain sehingga, meningkat dari
tahun ke tahun. Akhirnya penangkapan ikan yang berlebih menjadi masalah utama
di Raja Ampat. Penangkapan illegal pun terjadi di kawasan ini oleh penduduk
lokal maupun luar dengan menggunakan bom dan racun ikan. Kegiatan eksploitasi ini
berpengaruh buruk terhadap ekosistem terumbu karang (Pandolfi et al., 2003) yakni tempat dimana ikan bertelur, berkembang
biak dan hidup.
Berdasarkan data
CRITC report (Baseline RAI) 2001, diketahui bahwa sebagian terumbu
karang Indonesia berada dalam kondisi yang mengkuatirkan. Di Kepulauan Raja
Ampat tutupan karang sekitar pulau, misalnya, Pulau Boo sebesar 35, 02%,
Pulau Ayau 51, 07%, dan Pulau Batang 40,86%.(
CRITC report. 2001. Base line study Kepulauan Raja Ampat. Coral reef
rehabilitation and Management program. Jakarta.). Bagi masyarakat Raja Ampat,
laut merupakan jantung kehidupan mereka selain berkebun dan berburu namun, sejak
Raja Ampat menjadi semakin terkenal karena keanekaragaman lautnya banyak
masalah yang timbul terhadap ekosistem perairan-nya karena eksploitasi yang
terjadi. Beberapa organisasi non pemerintah baik internasional dan lokal
memulai melakukan konservasi untuk menjaga dan melestarikan keanekaragaman
ekosistem laut Raja Ampat. Beberapa organisasi tersebut adalah TNC (The Nature Conservacy), WWF (World Wild Life Foundation),
dan berbagai stake holders dari pemerintahan dalam negeri. Mereka menetapkan 7 Area di Raja Ampat yang dilindungi
dari aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas lainnya yang membahayakan
ekosistem laut atau dikenal dengan
Marine Protected Area (MPA).
Adapun tujuan utama sasi adalah pembatasan ekploitasi sumber daya alam. Upacara sasi biasanya berlangsung selama 1-7 hari. Dalam
upacara ini, diletakkan sebatang pohon yang dihiasi pelbagai ukiran,
potongan-potongan kain, daun-daun yang dianyam menyerupai hewan-hewan laut, dan
buah bakau yang diletakkan di tempat yang akan dilaksanakan sasi. Setelah upacara
selesai, tonggak tanda batas yang sudah diupacarai dipancangkan di lokasi yang
akan disasi.
Perlengkapan
upacara lainnya adalah 7 piring nasi kuning, 7 butir telur, 7 bungkus papeda
berbiji (kawet), tembakau yang digulung dengan daun nipa, pinang siri, dan
kapur masing-masing 7 tempat.
Ada yang tahu kenapa harus 7? Perkiraan saya semuanya ini dihubungkan dengan
legenda rakyat Raja Ampat yaitu kisah 7 telur naga yang kemudian empat
diantaranya menjadi Raja. Semua
perlengkapan ini sebagian dilarung ke laut dan sebagian di bibir pantai sebagai
persembahan.
Sementara, pada saat "rajaha" juga dilakukan upacara dengan memotong ayam putih kemudian diikat pada lokasi yang disasi. Untuk mencegah pencurian hobatan yang berbentuk cairan atau daun-daun yang diisi botol kecil lalu digantungkan pada tiang kayu di lokasi yang disasi. Hobatan selalu disertai pembacaan mantera. Sepertinya Rajaha ini yang menjadi perisai untuk daerah yang disasi, jika ada yang melanggar? hati-hati... bisa saja yang melanggar terkena musibah seperti cacat seumur hidup atau bahkan nyawa taruhannya, seperti dikutip dari buku Pusaka Raja Ampat; History and Culture karya Ayu Arman. Selain itu, ada juga pelanggar yang diberi hukuman langsung seperti harus membayar denda adat, atau dipermalukan dihadapan umum dengan cara dipasung atau sanksi sosial lainnya. Dengan ketentuan seperti itu masyarakat menjadi tidak serampangan mengambil hasil laut di wilayahnya, kecuali diwilayah laut terbuka. Sanksi akan dijatuhkan oleh ketua adat bagi masyarakat yang melanggar aturan tersebut.
Ada 6 zona
kawasan konservasi lautyang kemudian dibagi lagi menjadi 3 zona peruntukan. Zona
inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona pemanfaatan bebas. Masyarakat
dilarang untuk mengambil ikan di zona inti ini. Zona pemanfaatan terbatas
digunakan sebagai bank ikan dan ekowisata.Wilayah tradisi Sasi ini masuk dalam
zona pemanfaatan bebas. Disinilah peraturan tradisi Sasi diberlakukan
masyarakat adat, dimana waktu panen ikan dan waktu pemeliharaan ikan dan biota
laut lainnya dijadwalkan. Saat
ini hampir seluruh kawasan Raja Ampat telah diberlakukan sasi. Setidaknya,
ada 16 titik yang dalam istilah terkini adalah Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) yang di deklarasikan sejak 2006. Ke-16 titik tersebut
terlarang bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan menangkap ikan atau memanen
hasil laut lainnya, seperti lola, teripang, dan ikan karang. Dalam rangka
mendukung kearifan lokal itu, maka masyarakat kini telah memberlakukan sistem
patroli pengawasan ke wilayah perairan hak ulayat dimana tradisi Sasi
dijalankan. Menurut lembaga perlindungan alam dan kehidupan TNC (The Nature
Conservancy) berdasarkan survey yang mereka lakukan di tahun 2007 hingga 2009
bahwa sekitar 94 persen hasil sumberdaya alam laut di Kabupaten Raja Ampat
telah dijarah oleh nelayan dari luar.
Selain sasi,
masyarakat Raja Ampat juga memiliki kebiasaan menangkap ikan secara
tradisional dalam rangka konservasi
lingkungan tempat mereka tinggal. Teknik menangkap ikan tersebut dinamai molo, bacigi.
Molo adalah cara menangkap ikan dengan senapan kayu sedangkan, bacigi adalah teknik memancing di laut
tanpa menggunakan umpan. Kearifan lokal ternyata bisa lebih “sakti” untuk melindungi
dan melestarikan sumber daya alam, ketimbang peraturan pelarangan yang di
keluarkan pemerintah. Lewat kearifan lokal masyarakat diajak untuk sama-sama
memiliki dan menjaga alam dari kerusakan dan kepunahan.
Ini tangan siapa ya? (dok. Awwal dalam buku Beautiful Raja Ampat) |
Mmmm,, tahu Noken? Ini bukan karst tapi ini tas, itu lho
yang talinya biasanya digantung atau diletakkan di atas kepala. Hasil kerajinan
tangan kebanyakan penduduk Papua yang bermanfaat tentunya. Menariknya Noken terdaftar
sebagai warisan budaya tak benda oleh badan internasional UNESCO. Belum lagi mengenai
ukiran-nya yang amazing, sepertinya Raja Ampat
menyimpan banyak cerita yang menarik untuk diketahui. Penasaran? Semakin penasaran
kan??
Ingin tahu lebih banyak mengenai keindahan indonesia lainnya? kunjungi: http://www.indonesia.travel
Sumber:
Anonim. Appendix C Social situation and history
Anonim. 2013.Raja Ampat, ditengah Budaya dan Kearifan Lokal.
Anonim. 2013.Raja Ampat, ditengah Budaya dan Kearifan Lokal.
Agostini et al. 2012. Achieving Fisheries and Conservation
Objectives within Marine Protecte Areas: Zoning the Raja Ampat Network.
Indo – Pacific Division. Indonesia Report No. 2/12.of the Raja Ampat archipelago.
Dhave, danang. 2014. Sasi, Konservasi
Tradisional di Raja Ampat.
Djarwanto et al. 2013. Geodiversity Raja Ampat Island and Tourism
Developmet. 2nd
International Conference on Geological and Environmental Sciences. PCBEE vol.52 (2013) © (2013) IACSIT Press,
Singapore. DOI: 10.7763/IPCBEE..
V52. 3
Hoeksema et al. 2008. Cryptic Marine
Biota Of The Raja Ampat Island Group. Preliminary results of the
LIPI – Naturalis expedition to Raja Ampat, Papua, Indonesia.
Palomares, Maria Lourdes D. and Johanna J. Heymans. 2006. Historical ecology of the Raja Ampat Archipelago, Papua
Province, Indonesia. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2202 Main Mall Vancouver, B.C., Canada, V6T1Z4. ISSN 1198 - 6727. 64.
Pitcher, Tonny J. et al. 2007. Ecological
And Economic Analyses Of Marine Ecosystem In The Bird’s Head Seascape, Papua,
Indonesia : I. The Fisheries Centre, University of Birtish Columbia, 2202 Main Mall Vancouver, B.C., Canada, V6T1Z4. ISSN 1198 – 6727. 184 p.
QM. 2012. Kekayaan Biodiversitas Laut Raja ampat. Buletin Konservasi
Biodiversitas Raja Ampat. Laboratorium Perikanan,
Jurusan Perikanan, Fakultas
Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua, Jl Gunung Salju Amban Manokwari. Papua Barat 98314.
Setiawan, F. Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Kepulauan Raja Ampat
Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Universitas Padjadjaran.
No comments:
Post a Comment